Brengsel dan Sekeping Kenangan

Brengsel3Kami menyebutnya Brengsel, yang mungkin merupakan pengucapan penduduk lokal dari nama aslinya, yaitu N.V. Bruynzeel Dayak Houtbedrijven (Bruynzeel Dayak Wood Enterprises). Brengsel merupakan kilang penggergajian kayu di Kota Sampit dan pernah memegang rekor sebagai kilang terbesar di Asia Tenggara. Karena besarnya potensi keuntungannya, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1958 Tentang Penetapan Bagian IV A (Urusan Penyelenggaraan Keuangan Dan Perhitungan-Perhitungannya Mengenai Perusahaan-Perusahaan Dan Jawatan-Jawatan Pemerintah Yang Mempunyai Pengurus Sendiri) dari Anggaran Republik Indonesia Untuk Tahun Dinas 1955, terutama Bab II (Penerimaan) pada bagian 4A.5.2  tentang Keuntungan berhubung dengan penyertaan dalam modal secara spesifik menyebutkan bahwa Bruynzeel-Dayak-Hout-bedrijven menjadi satu dari 21 jawatan/perusahaan yang keuntungannya menyumbang kepada pemasukan Negara. Mengingat reputasinya, tidak heran salah seorang guru saya yang berasal dari Jawa bersedia ditempatkan di Sampit karena berpikir kota ini tidak terlalu terkebelakang karena memiliki industri berskala raksasa untuk zamannya.

Brengsel1

Menurut informasi di laman PT Eksploitasi dan Industri Hutan III (Persero), Brengsel didirikan pada  tahun 1947 bernama Bruynzeel Dayak Hout Bedrijven NV yang merupakan perusahaan terbatas yang bergerak di industri penggergajian kayu. Perusahaan ini di ambil alih oleh Pemerintah RI pada tahun 1955 dan diubah namanya menjadi PT. Sampit Dayak. Pada tahun 1962 perusahaan ini berubah menjadi Perusahaan Negara (PN) Perhutani Kalimantan Tengah. Kemudian status perusahaan ini berubah menjadi persero pada tahun 1974 berdasarkan Peraturan Pemerintah No.31 Tahun 1974. Perubahan demi perubahan dilakukan dari sisi legal atas perusahaan ini dengan akte pengesahan terakhir dilakukan pada tahun 2010 (http://bumn.go.id/data/uploads/epaper/Sektor2/files/assets/seo/page61.html).

Brengsel dekat rumah kami, persis bersebelahan dengan permukiman warga yang tinggal di sepanjang Jalan Jiwa dan Gang Lilik. Ada pagar seng tinggi dengan tiga baris kawat berduri sepanjang jalan umum yang membatasi area kilang dan perumahan penduduk. Lokasinya sangat strategis karena berada di dekat pertemuan antara Sei Pemuatan dan Sungai Mentaya. Di seberang Sei Pemuatan dari kilang ini terdapat permukiman padat penduduk yang dulu terhubung dengan jembatan kayu ikonik kalau ingin ke wilayah Baamang atau ke Bandar Udara Haji Asan. Dari jauh kami selalu bisa melihat cerobong asap pembakaran yang di bawahnya kami, para anak-anak, percayai bersemayam seekor naga besar yang menjadi penunggunya.

Brengsel2

Apabila anak-anak mencari tempat lain untuk bermain selain di sungai dan hutan, maka Brengsellah yang menjadi salah satu pilihan. Kilang ini sebenarnya adalah restricted area dimana orang luar harus mendapat izin untuk masuk. Namun, namanya juga anak-anak, kami dengan mudahnya melakukan trespassing  dan bermain-main di daerah kerja sambil main kucing-kucingan dengan para penjaga yang tidak segan-segan membentak dan mengejar-ngejar kami untuk keluar dari area kerja yang sebenarnya, kalau dipikir sekarang, adalah area berbahaya.

Ada banyak kesempatan bermain yang ditawarkan di Brengsel. Pertama, kami bisa bermain dengan lori kereta pengangkut kayu. Kadang-kadang satu lori dilepas di ujung rel sehingga dapat kami gunakan untuk bergantian menjadi penumpang dan pendorong lori sepanjang beberapa meter rel yang tersedia. Saat itu saya membayangkan bagaimana asyiknya naik kereta api seperti yang ada di buku-buku cerita dan cerita pengalaman tetangga yang pernah naik kereta di Pulau Jawa. Mengingat ini, sungguh kami sangat tertinggal saat itu dari aspek transportasi antarkota di Kalimantan.

Kesempatan bermain kedua adalah permainan perang-perangan. Limbah gabuk (serbuk gergaji) biasanya ditumpuk menggunung dan dibakar. Ketika “berperang” dengan kelompok lain, kami melempari gunungan gabuk terbakar tersebut dengan potongan kayu atau batu sehingga memberikan sensasi visual mirip ledakan yang ada di film-film perang yang sering diputar di dua bioskop terkenal di Sampit saat itu, yaitu Mentaya Theater dan Panorama Theater. Setelah saling “meledakkan” kubu lawan, kami biasanya melanjutkannya dengan adegan perkelahian a la film-film kungfu Hong Kong. Segala simulasi gerakan yang merepresentasikan teknik-teknik ginkang, iweekang, dan lain-lain dapat secara bebas dilakukan sambil berguling-guling di tumpukan gabuk yang empuk.

Kemudian, kesempatan bermain ketiga yang ditawarkan di Brengsel adalah area kilang minyak ini kadang-kadang menjadi tempat strategis untuk mengejar layangan putus. Biasanya mereka yang betegang (beradu layangan) bermainnya di Lapangan SD Kristen yang berdekatan dengan Brengsel. Layangan putus yang kalah dalam adu itu biasanya ditiup angin masuk ke areal kilang Brengsel. Tidak heran kalau anak-anak berlomba-lomba mengejar layangan putus tanpa perduli teriakan para penjaga dan pekerja yang terganggu akibat kegaduhan kami mengejar layangan tersebut.

Dengan pakaian kotor dan badan bau keringat, saat azan ashar terdengar kami biasanya berjalan beramai-ramai ke batang-batang di Sungai Mentaya dekat lokasi Brengsel. Batang yang merupakan dermaga kecil dari kayu gelondongan tempat tambat perahu menjadi tempat terakhir bermain sekaligus membersihkan diri setelah seharian bermain di Brengsel. Dengan riang kami berjalan pulang ke rumah masing-masing dengan memakai celana basah dan menyampirkan baju basah di bahu. Dengan saling bercanda, kami berbagi kebahagiaan yang sederhana setelah seharian bermain-main secara produktif.

Kebahagiaan lain yang ditawarkan Brengsel adalah bunyi sirenenya. Pada bulan Ramadan, sirene dari Brengsel merupakan hal yang paling ditunggu-tunggu warga sekitar karena merupakan penanda berbuka puasa bagi kaum Muslimin. Saya biasanya berlari dari rumah teman di samping Brengsel sambil meneriakkan informasi bahwa waktu berbuka sudah tiba seolah-olah orang lain tidak mendengar sirene nyaring yang terdengar seantero kota.

Malangnya, pengalaman masa kecil kami tidak lagi dapat dinikmati oleh generasi sesudahnya apalagi setelah industri kayu di Kota Sampit lumpuhcollapse. Kondisinya sekarang sangat memprihatinkan seperti yang terlihat di foto-foto yang ada, abandoned and ignored. Dari data yang tersedia, PT Inhutani III berencana untuk menjadi areal ini sebagai bagian dari kerja sama penggunaan lahan untuk pembangunan tempat usaha komersial, seperti hotel, pusat perbelanjaan, dan lain-lain sesuai dengan brosur yang ada di website mereka:

Kerjasama-Lahan-Sampit-2016

Apabila perubahan drastis ini terjadi, Kota Sampit akan kehilangan salah satu landmark bersejarahnya. Ingatan tentang Brengsel akan hilang seiring dengan berlalunya generasi yang tumbuh dan besar di sekitaran areal kilang ini. Keberadaannya hanya akan menjadi informasi masa lalu yang menjadi bagian muram dari Museum Kayu Sampit. Oleh karena itu, ada baiknya Pemerintah Daerah Kotawaringin Timur bekerja sama dengan PT Inhutani III untuk membenahi area ini, misalnya dengan menjadikan area Brengsel sebagai sebuah taman terbuka atau theme park yang dapat menjadi “museum hidup” bagi identitas Kota Sampit. Landmark kota ini akan berpotensi besar dalam mendekatkan generasi sekarang dengan sejarah dan identitas kotanya sebagai pelengkap Museum Kayu yang sudah ada di Sampit. Sudah saatnya kita menghargai warisan masa lalu dan melakukan upaya preservasi terhadap peninggalan bernilai sejarah. Kalau tidak, semua peninggalan bernilai sejarah tersebut hanya akan menjadi kenangan yang hilang dan catatan tanpa emosi di buku sejarah lokal.

Catatan: Foto-foto Brengsel diambil dari koleksi dan atas izin NanankSophian (https://www.facebook.com/nsophian).

Leave a comment