First blog post on WordPress

After abandoning my blogs (one at Blogspot and the other at the late Multiply), which I didn’t update regularly anyway, I thought now is the time to start writing again. The posts will be about my random thoughts and narratives, ranging from lighter topics (such as culinary experience and travel notes) to heavier ones (such as conflict, peacebuilding, and communication issues).

Let’s see how consistent I can be… 🙂

579937_10151187944637491_755639414_n

Story-telling Untuk Membangun Inklusivitas dan Toleransi di Kalangan Anak Muda: Program CERITA The Habibie Center

Abstrak

Intoleransi dan ketidakpercayaan antargolongan di Indonesia semakin meningkat, terutama dipicu oleh maraknya konten-konten negatif yang marak beredar di media sosial dan grup pesan tertutup. Untuk merespons situasi yang semakinmengkhawatirkan ini, The Habibie Center (THC) meluncurkan program Community Empowerment in Raising Inclusivity and Trust Through technology Application (CERITA) yang didukung oleh Google.org. CERITA adalah sebuah program yang menggabungkan storytelling, fasilitasi diskusi, dan aplikasi teknologi untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi para anak muda atas isu inklusivitas dan pembangunan rasa saling percaya antarkelompok di kota mereka masing-masing. Program ini berbentuk training-of-trainer (TOT) bagi para anak muda pegiat dan aktivis yang mewakili komunitas mereka masing-masing. Para peserta TOT ini kemudian disebut sebagai Duta CERITA. Pada tahap pertama program, lima kota dipilih sebagai tempat pelaksanaan pelatihan, yaitu Bandung, Jakarta, Malang, Yogyakarta, dan Solo. Dari proyeksi jumlah peserta, program CERITA berhasil memberikan pelatihan kepada 144 dari rencana 150 peserta. Para peserta kemudian diminta, secara individual atau berkelompok, untuk melatih orang-orang di komunitasnya tentang kegiatan story-telling, fasilitasi diskusi, dan akses aplikasi teknologi untuk story-telling. Para fasilitator untuk story-telling dan fasilitasi diskusi berasal dari Kanada didampingi oleh failitator dari Indonesia. Aplikasi teknologi dikembangkan dalam versi beta dengan menggunakan fasilitas Googlemap. Pada saatnya aplikasi ini akan dipenuhi oleh video para Duta CERITA berisi cerita mereka tentang inkusivitas dan toleransi di kota dan daerah mereka masing-masing. Saat evaluasi terakhir, dari awalnya lima kota dan 144 peserta, program ini menjangkau 14 kota dan 1030 peserta melalui aktivitas replikasi program yang dilakukan oleh para Duta CERITA lapis pertama.

Latar Belakang

Keberagaman identitas penduduk Indonesia merupakan sebuah kekayaan, tetapi pada saat yang bersamaan memunculkan potensi gesekan antarkelompok, terutama bila dilihat dari aspek identitas berdasarkan etnisitas, keagamaan, geografis, status kependudukan, sekolah, klub olahraga, dan lain-lain. Berdasarkan data di Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK), tren kekerasan berdasarkan identitas di Indonesia untuk periode 2005-2015 dapat dilihat sebagai berikut (lihat Grafik 1):

Catatan: Data 2005-2011 mencakup 16 provinsi; 2012-2013 mencakup 18 provinsi; 2014-2015 mencakup 34 Provinsi; pencatatan data 2015 hanya sampai April 2015.

Tren jumlah insiden kekerasan berdasarkan identitas di atas menunjukkan bahwa identitas dapat dan masih menjadi pemicu terjadinya konflik di seluruh wilayah Indonesia.

Potensi kekerasan antarkelompok tersebut kini diperparah dengan banyak beredarnya ujaran kebencian (hate speech) dan berita bohong (hoax) yang disebarkan di media sosial dan grup-grup pesan tertutup seperti Whatsapp Group dan lain-lain. Menurut laporan Kepolisian Republik Indonesia (Polri), selama 2017 saja, Polri telah menangani 3.325 kasus kejahatan hate speech atau ujaran kebencian. Angka ini meningkat 44,99% dari tahun sebelumnya yang berjumlah 1.829 kasus (Medistiara, 2017). Laporan Polri tersebut menimbulkan keprihatinan besar karena ujaran kebencian dapat memicu timbulnya intoleransi dan ketidakpercayaan antargolongan di Indonesia. Keharmonisan dalam perbedaan yang diklaim merupakan salah satu jati diri bangsa Indonesia tidak lagi mendapat tempat karena masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan identitas yang mereka pilih. Persoalan terbesar kemudian adalah keterbatasan konten-konten positif dan saluran untuk melawan ujaran kebencian.

Untuk merespons situasi yang semakin mengkhawatirkan ini, The Habibie Center (THC) meluncurkan Program Community Empowerment in Raising Inclusivity and Trust Through technology Application (CERITA) yang didukung oleh Google.org. CERITA adalah sebuah program yang menggabungkan storytelling, fasilitasi diskusi, dan aplikasi teknologi untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi para anak muda atas isu inklusivitas dan pembangunan rasa saling percaya antarkelompok di kota mereka masing-masing. Program ini dilaksanakan selama 2017-2018 di lima kota di Indonesia berisi kegiatan training for trainers, simulasi teknologi untuk digital storytelling, dan strategi pengembangan jejaring. Para peserta pelatihan, yang disebut Duta Cerita, kemudian melakukan upaya replikasi pelatihan di komunitas masing-masing di mana mereka berada. Mengingat strategisnya program ini dan sebagai bagian dari upaya pembelajaran, makalah ini mencoba untuk memaparkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program CERITA tersebut. Hal ini penting dilakukan karena “all stories have the purpose of transformation, conversion, or change” (McKenna dalam Senehi, 2002, p. 57).

Tinjauan Pustaka dan Fondasi Teoretis Program

Storytelling telah dipakai untuk berbagai disiplin untuk mencapai tujuan tertentu, misalnya hubungan corporate (Hansen & Kahnweiler, 1993), pembelajaran organisasi/organizational learning (Boje, 1994), budaya organisasi (Driscoll & McKee, 2007), pemberdayaan perempuan marginal (Rodriguez, 2010), dan alat konseling kreatif untuk anak-anak (Sawyer & Willis, 2011). Dalam bidang studi perdamaian dan konflik, storytelling banyak didiskusikan berkenaan dengan timbulnya konflik dan proses membangun perdamaian. Storytelling tidak selalu menghasilkan hubungan yang damai antarkelompok dan intrakelompok, tetapi juga dapat meningkatkan perpecahan sosial, ketidakpercayaan antarkelompok, dan menyebabkan kekerasan structural (Senehi, 2002). Oleh karena itu, penekanan pada aspek konstruktif storytelling dapat berkontribusi terhadap perdamaianan. Misalnya, di daerah pascakonflik, storytelling memberikan kesempatan anggota masyarakat untuk berefleksi tentang nilai-nilai dan kekuatan mereka, kembali ke akar mereka, dan membangun koneksi dengan orang lain demi masa depan damai dengan visi yang sama tanpa melihat adanya perbedaan (Flaherty, 2011).

Metode storytelling di bidang pendidikan juga telah diaplikasi di beberapa negara, misalnya untuk menanamkan nilai-nilai agama kepada siswa-siswa sekolah dasar di Indonesia(Puldri, 2017), untuk mengajarkan tentang toleransi di Turki (Demircioglu, 2010). Dengan meningkatnya teknologi komunikasi, storytelling dalam format digital (digital storytelling) semakin menjadi salah satu pilihan. Format baru ini telah menjadi alat pembelajaran yang sangat berpengaruh bagi para siswa dan pengajar (Lundby, 2008; Robin 2008), seperti, misalnya penggunaan digital storytelling dalam pengajaran Bahasa Inggris di Indonesia (Afrilyasanti & Basthomi, 2011).

Sementara itu, storytelling juga menjadi factor penting dalam perubahan karena kemampuannya untuk menghalangi atau memfasilitasi perubahan (Brown, Gabriel, & Gherardi, 2009). Oleh karena itu penggunaan storytelling untuk mempromosikan perubahan positif harus dilakukan, terutama untuk mencapai tujuan-tujuan yang konstruktif dalam menciptakan toleransi dan inklusivitas. Selain itu, tujuan besar lain dari digital storytelling adalah memperkuat demokrasi (Couldry, 2008). Hal ini penting menjadi landasan berpikir dalam merencanakan dan melaksanakan program cerita karena sesuai dengan motto The Habibie Center, yaitu “democratization must go on.”

Deskripsi dan Perencanaan Program

Community Empowerment in Raising Inclusivity and Trust Through technology Application (CERITA) merupakan program yang dilaksanakan oleh The Habibie Center (THC) untuk meningkatkan inklusivitas dan rasa saling percaya di antara generasi muda Indonesia. Program ini didanai dan didukung oleh Google.org. Program CERITA direncanakan diadakan di lima kota, yaitu Bandung, Jakarta, Malang, Yogyakarta, dan Solo. Pemilihan tersebut didasarkan pada analisis data Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) dimana ke lima kota menunjukkan indikasi peningkatan angka kekerasan berbasis identitas.

                Dalam penentuan lokasi kegiatan, salah satu faktor yang menjadi pertimbangan utama adalah bahwa kegiatan TIDAK dilaksanakan di tempat-tempat yang sering menjadi lokasi pelatihan dan acara, seperti hotel, gedung pertemuan, kantor pemerintah, dan lain-lain. Suasana (atmosfir) pelatihan akan lebih menekankan unsur informalitas tanpa meninggalkan aspek keseriusan kegiatan pelatihan. Karena itu, kafe-kafe atau warung kopi tradisional yang memiliki ruang luas dipilih untuk beberapa alasan. Pertama, Pemilihan tempat dengan tema kopi ini menjadi penting karena tradisi kuat di kalangan masyarakat Indonesia untuk bercengkrama sambil minum kopi di warung-warung kopi tradisional dan modern. Kedua, CERITA sendiri memakai kopi sebagai ikon kegiatanya mengingat budaya minum kopi yang tersebar di Indonesia. Ketiga, kafe di masa sekarang semakin menjadi public space untuk mendiskusikan isu-isu sosial, budaya, dan politik Indonesia sehingga atmosfir santai tapi serius menjadi salah satu hal yang ditawarkan kafe-kafe. Keempat, CERITA juga bertujuan membangun jaringan kafe, disebut Kafe CERITA, yang dapat digunakan oleh para Duta CERITA dalam melaksanakan program replikasi mereka.

                Tahap perencanaan program juga mendiskusikan dan memutuskan durasi dan tanggal kegiatan dan lokasi kegiatan di lima kota. Tim THC memutuskan bahwa kegiatan di tiap kota dilaksanakan dalam durasi 2,5 hari. Tim juga memutuskan bahwa pelaksanaan program di Bandung diadakan pada 16-18 April 2017 di Selasar Sunaryo, Jakarta pada 21-23 April 2017 di Dia.Lo.Gue Café, Malang pada 17-19 Juli 2017 di Public Café, Yogyakarta pada 22-24 Juli 2017 di Tickles Café, Solo pada 28-30 Juli 2017 di Omah Sinten.

Pelaksanaan Program

Pelaksanaan program dimulai dengan proses perekrutan peserta. Tim CERITA THC menyebarkan undangan perekrutan Duta CERITA melalui media sosial, email terbuka, dan poster-poster yang disebarkan di grup-grup Whatsapp. Para calon peserta diminta untuk mengirimkan video mereka berisi tentang informasi tentang diri mereka disertai dengan ekspektasi dan rencana setelah mengikuti kegiatan. Tim kemudian menyeleksi aplikasi yang masuk dan mewawancarai para aplikan. Aspek inklusivitas juga ditekankan dalam pemilihan peserta, sehingga para peserta dengan  kebutuhan khusus, latar belakang sosial marginal, dan peserta asing juga diikutsertakan. Dari sejumlah aplikan yang diwawancarai, 150 orang peserta akhirnya terpilih, masing-masing 30 orang Duta CERITA di tiap kota.

Pelatihan  dilakukan memakai format yang sama, dengan beberapa penyesuaian mengikuti dinamika di lapangan, kebutuhan para peserta, dan keunikan masing-masing daerah. Sebelum pelatihan dimulai, para peserta harus menandatangani CERITA Charter yang berisi komitmen untuk bersikap dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam program CERITA. Aktivitas ini diikuti oleh kegiatan-kegiatan perkenalan para peserta, fasilitator, dan Tim CERITA THC sebelum dilanjutkan dengan kegiatan inti program.

Secara garis besar, kegiatan inti pelatihan dibagi menjadi tiga bagian besar: (1) pelatihan membuat cerita yang baik, (2) pelatihan fasilitasi dialog, dan (3) pelatihan membuat konten digital storytelling.

  1. Pelatihan pembuatan cerita yang baik berisi bimbingan bagaimana para peserta dapat membuat cerita yang powerful, menginspirasi, dan menanamkan nilai-nilai toleransi, kebersamaan, serta inklusivitas. Dasar-dasar dan teknik-teknik bercerita yang baik ini diajarkan kepada seluruh peserta dan langsung diikuti dengan latihan praktek.

Dalam kegiatan praktek, para peserta, misalnya, bekerja dalam kelompok dimana masing-masing anggota diminta untuk membuat cerita tentang sebuah dalam waktu terbatas. Masing-masing kelompok kemudian menominasikan sebuah cerita untuk menjadi wakil mereka dalam kontes cerita antarkelompok. Kegiatan pelatihan pembuatan cerita ini untuk membantu peserta membuat cerita masing-masing dan cerita berpasangan yang akan dipresentasikan pada saat akhir kegiatan. Setiap cerita individual dan berpasangan kemudian dikritisi oleh para fasilitator, dengan mengedepankan saran-saran perbaikan dan penekanan pada kekuatan aspek cerita dan penceritaan yang disajikan peserta. Suasana saling mendukung di antara para peserta dan fasilitator pada sesi presentasi cerita menjadi factor yang sangat penting terutama ketika konten cerita yang dibagikan memuat aspek emosional tinggi sehingga membuat para peserta harus saling menguatkan satu sama lain. Tema-tema berkenaan dengan intoleransi, kekerasan, diskriminasi mendominasi cerita yang dipresentasikan,

  • Pelatihan memfasilitasi dialog

Memfasilitasi dialog masih merupakan tantangan besar bagi generasi muda Indonesia, terutama bila dikaitkan dengan keanekaragaman budaya, norma, nilai dan kebiasaan masyarakat Indonesia. Dalam pelatihan ini para peserta diberikan kesempatan untuk mengidentifikasi peran-peran yang sering muncul saat terjadi dialog. Identifikasi ini dianggap penting agar para peserta pada saat menjadi fasilitator dapat mencari jalan agar peran destruktif dapat dikurangi dan peran konstruktif dapat ditingkatkan. Dalam beberapa sesi role-play, para peserta diberikan kesempatan untuk memainkan peran yang diberikan dan memberikan refleksi atas proses dan dinamika yang terjadi dalam dialog. Pelatihan ini kemudian akhirnya memberikan kesempatan kepada para peserta untuk menjadi fasilitator dialog dengan mendiskusikan beberapa isu kontemporer yang ramai didiskusikan di media dan oleh masyarakat, seperti isu ideology, kekerasan, diskriminasi, politik, dan lain-lain.

  • Pelatihan membuat konten digital story telling

Pelatihan ini merupakan salah satu highlight  dari program CERITA THC. Salah satu tujuannya adalah memperbanyak konten-konten positif di media sosial dalam mempromosikan nilai-nilai toleransi dan inklusivitas. Beredarnya konten negatif yang cenderung mempertajam perbedaan dan berpotensi menyebabkan konflik dan kekerasan di masyarakat menjadi salah satu hal yang menjadi focus diskusi dalam pelatihan ini. Oleh karena itu, para peserta diperkenalkan pada aplikasi yang disebut sebagai Peta CERITA (CERITA Map). Peta CERITA ini merupakan aplikasi dalam bentuk peta dan video,dimana para peserta akan mengunggah cerita individual dan berpasangan yang mereka buat. Dengan demikian, ketika nanti diluncurkan, aplikasi ini akan berisi cerita-cerita inspiratif apabila pengguna mengklik kota-kota dimana para Duta CERITA tinggal dan bekerja.

Bantuan teknis dan knowledge sharing untuk pelatihan ini didukung oleh oleh pihak Google Indonesia. Pihak Google memberikan pelatihan dan saran-saran pembuatan konten digital yang dapat dengan mudah disebarkan dan disukai oleh para pengguna internet melalui saluran Youtube dan lain-lain. Pelatihan dilakukan secara langsung dengan tatap muka oleh pihak Google di Bandung dan Jakarta. Sedangkan untuk Malang, Yogyakarta, dan Solo, kegiatan pelatihan oleh pihak Google dilakukan secara daring langsung dengan narasumber dari dalam dan luar negeri.

Dalam pelaksanaan Program CERITA, Tim THC juga mendapat dukungan dari beberapa lembaga. Selain bantuan teknis dan teknologi oleh Google Indonesia, Tim CERITA THC juga bekerja sama dengan Indika Foundation, sebuah organisasi yang didirikan oleh Perusahaan Indika Energy yang focus pada isu keberagaman dan toleransi. Kerja sama berbentuk pembuatan buku cerita anak-anak tentang toleransi dimana cerita-cerita dari para peserta Program CERITA akan diambil dan diadaptasi dalam bentuk buku. Pada tahap awal, buku cerita ini akan diproduksi dalam bentuk cetak, kemudian akan dikeembangkan lebih lanjut versi interaktif digitalnya.

Selanjutnya kerja sama juga dilakukan dengan Cameo Project, yang meraih penghargaan sebagai Youtube Creators for Change 2017-2018. Kerja sama ini berupa produksi film dokumenter mini yang berisi cerita-cerita terbaik para Duta CERITA hasil program pelatihan CERITA. Diharapkan kerja sama ini akan menjangkau audiens yang lebih luas dan video yang dibuat dapat digunakan untuk mempromosikan platform daring CERITA kepada para pembuat konten.

Evaluasi Program

Pelaksanaan program sukses dilakukan di lima kota yang direncanakan. Dari rencana target 150 Duta Cerita, pelatihan berhasil memberikan pembekalan keahlian dan pengetahuan kepada 144 orang. Enam peserta lain tidak dapat menyelesaikan program pelatihan karena beberapa alasan, misalnya urusan pekerjaan, keadaan darurat personal, dan lain-lain. Para peserta yang masuk dalam tier pertama ini kemudian mendapat tugas untuk mereplikasi program di tempat dimana mereka berada. Program ini dilaksanakan secara berpasangan di lokasi yang telah dipilih oleh Tim CERITA THC sebagai bagian dari jaringan Kafe CERITA.

Salah satu contoh dari program replikasi ini adalah bagaimana CERITA telah menginspirasi sekelompok perancang busana di Jakarta untuk memakai mode sebagai platform dengan menghasilkan selendang/syal storytelling. “Hello Kahanu” merancang selendang/syal yang ditenun berisi cerita-cerita sosial untuk mendekatkan para pemakai busana dengan diskusi tentang toleransi dan keberagaman di antara kaum muda. Selendang/syal storytelling ini kemudian dibawa pada Indonesia Night 2018 dalam Forum Ekonomi Dunia di Davos. Metode workshop CERITA juga dipakai dan diadaptasi oleh para Duta CERITA dalam aktivitas sehari-hari mereka dalam perkuliahan, komunitas sastera, perusahaan, kewirausahaan, dan lain-lain

                Melalui aksi replikasi tersebut, program ini telah menjangkau 14 kota dari awalnya lima kota dan 1030 peserta dari awalnya 144 orang. Jumlah tersebut telah terbagi dalam tiga lapis (tier)hasil dari pelatihan lanjutan yang dilakukan oleh para Duta CERITA lapis pertama dan lapis kedua. Dalam penutupan tahap pertama program ini, para fasiltator dari THC melakukan pelatihan penyegaran bagi Duta CERITA angkatan pertama dan menyediakan fasilitas bagi mereka untuk melatih para Duta CERITA angkatan ketiga. Ini adalah program jangka panjang dan diharapkan upaya yang dilakukan dapat mendorong para anak muda seluruh Indonesia untuk berpartisipasi secara aktif dalam memproduksi kegiatan dan konten positif di media sosial untuk meningkatkan inklusivitas dan rasa saling percaya antarkelompok di daerah mereka masing-masing.

Tindak Lanjut Program

Kegiatan program selanjutnya memiliki beberapa tujuan, yaitu (1) mengaktivasi komunitas Duta CERITA di lima kota; (2) memfasilitasi dan memonitor para Duta CERITA dalam mereplikasi workshop Kafe CERITA di komunitas mereka masing-masing dan mengumpulkan lebih banyak video berisi cerita-cerita dari para peserta; (3) mengeksekusi pengembangan aplikasi mobile  yang akan menjadi platform untuk pemetaan dan pembagian cerita; (4) mengadakan festival storytelling dan meluncurkan aplikasi mobile; dan (5) membentuk dan memperkuat hubungan dengan organisasi dan komunitas lain yang bekerja dalam isu dan kepentingan yang sama.

                Dari lima tujuan di atas sebagai tindak lanjut dari program ini, Tim CERITA THC mengadakan workshop penyegaran kepada para Duta CERITA, memfasilitasi pelatihan kepada peserta lapis ketiga program CERITA, dan peluncuran versi beta aplikasi Peta CERITA/CERITA Map. Program yang berpuncak pada acara CERITAFest Extravaganza ini dilaksanakan pada 22-24 Maret 2018 di Eighty Nine Eatery and Coffee, Kemang, Jakarta. CERITAFest Extravaganza sendiri mengundang beberapa selebritas Indonesia untuk berbagi cerita di samping presentasi cerita-cerita terpilih para Duta CERITA dari lapis pertama sampai ketiga. Kegiatan ini menutup keseluruhan program CERITA untuk tahun pertama.

Simpulan dan Saran

Simpulan

Program CERITA merupakan salah satu program pengabdian masyarakat yang sangat diperlukan untuk meningkatkan toleransi antarkelompok dan kepedulian anak muda dalam memproduksi konten-konten positif melalui berbagai media. Konten-konten ini diharapkan dapat mempromosikan nilai-nilai keberagaman yang semakin tergerus oleh meningkatnya politik identitas di Indonesia. Program ini juga memberikan kesempatan bagi para peserta pelatihan untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam melakukan mediasi dan membangun dialog di antara elemen-elemen masyarakat Indonesia.

Saran

Berdasarkan evaluasi program di atas, berikut saran-saran untuk memperbaiki pelaksanaan program di masa depan.

  1. Aspek replikasi merupakan salah satu kekuatan program CERITA. Pelaksanaan replikasi di luar Jawa dan di daerah pascakonflik sebaiknya menjadi prioritas dalam program selanjutnya.
  2. Kegiatan pelatihan/workshop daring melalui aplikasi videochat interaktif seperti Skype sebaiknya dapat dimasukkan dalam program karena jangkauannya yang luas dan rendahnya biaya pelaksanaan.
  3. Aspek keberlanjutan program sebaiknya terus diperhatikan. Ketersediaan dana dan kesediaan sponsor untuk mendanai program secara terus-menerus merupakan salah satu kunci keberhasilan program CERITA di masa depan terutama untuk menjangkau daerah-daerah pascakonflik dan luar Jawa.

Referensi

Afrilyasanti, R., & Basthomi, Y. (2011). Digital storytelling: A case study on the teaching of speaking to Indonesian EFL students. Language in India, 11(2), 81-91.

Boje, D. M. (1994). Organizational storytelling: The struggles of pre-modern, modern and postmodern organizational learning discourses. Management Learning, 25(3), 433-461.

Brown, A. D., Gabriel, Y., & Gherardi, S. (2009). Storytelling and change: An unfolding story. Organization, 16(3), 323-333. doi: 10.1177/1350508409102298.

Couldry, N. (2008). Mediatization or mediation? Alternative understandings of the emergent space of digital storytelling. New Media & Society, 10(3), 373-391.

Demircioglu, I. H. (2008). Using historical stories to teach tolerance: The experiences of Turkish eighth-grade students. The Sosial Studies, 99(3), 105-110.

Driscoll, C., & McKee, M. (2007). Restorying a culture of ethical and spiritual values: A role for leader storytelling. Journal of Business Ethics, 73(2), 205-217. doi: 10.1007/s10551-006-9191-5.

Flaherty, M. P. (2011). Narrating the past to vision the future: Constructing civil society with women in Ukraine. (Disertasi yang tidak dipublikasikan). University of Manitoba, Winnipeg, Canada. Diakses dari https://mspace.lib.umanitoba.ca/xmlui/bitstream/handle/1993/4466/flaherty_maureen.pdf.pdf?sequence=1&isAllowed=y

Hansen, C. D., & Kahnweiler, W. M. (1993). Storytelling: an instrument for understanding the dynamics of corporate relationships. Human Relations, 46(12), 1391-1409.

Lundby, K. (Ed.). (2008). Digital storytelling, mediatized stories: Self-representations in new media. New York, NY: Peter Lang.

Medistiara, Y. (2017, 29 Desember). Selama 2017 Polri tangani 3.325 kasus ujaran kebencian. Diakses dari https://news.detik.com/berita/d-3790973/selama-2017-polri-tangani-3325-kasus-ujaran-kebencian

Puldri , M. A. F. (2017). Penanaman nilai-nilai karakter dalam Pendidikan Agama Islam melalui metode bercerita di SDN 07 Sumanik Kecamatan Salimpaung Kabupaten Tanah Datar. Jurnal al-Fikrah, 5(1), 61-86.

Robin, B. R. (2008). Digital storytelling: A powerful technology tool for the 21st century classroom. Theory Into Practice, 47(3), 220-228.

Rodriguez, D. (2010). Storytelling in the field: Race, method, and the empowerment of Latina college students. Cultural Studies-Critical Methodologies, 10(6), 491-507. doi: 10.1177/1532708610365481.

Sawyer, C. B., & Willis, J. M. (2011). Introducing digital storytelling to influence the behavior of children and adolescents. Journal of Creativity in Mental Health, 6(4), 274-283.

Senehi, J. (2002). Constructive storytelling: A peace process. Peace and Conflict Studies, 9(2), 41-63.


Originally published in Abdi Moestopo: Jurnal Pengabdian pada Masyarakat Vol. 02, No. 2, 2019

Being Habibie’s Intellectual Children

During our work in the Habibie Center’s (THC) National Violence Monitoring System (NVMS) or Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK), we were always confident about making our critical analyses and recommendations regarding any issues that we were working on. This freedom and independence allowed us to heavily scrutinize any potential points of recommendation that we would put in our publication. However, there was a time when we need to make sure that the recommendation we made was in line with THC’s vision and mission as outlined by our founder, Bacharudin Jusuf Habibie. That time, the SNPK-THC team had to take a stance to the increasing narrative propagated by politicians and lawmakers who intended to change the local election system from directly elected by the people to indirectly elected through members of local houses of representatives. One of the reasons for the change, according to the proponents of the system change, was the violence triggered by the friction between supporters of the participating candidates.

Based on the team’s data analyses from the NVMS database, we found that the violence did not only occur during the direct election, but had also happened during the indirect elections. So basically, regardless of the election systems, the violence still occurred, causing the argument to change the election system to be unfounded. We firmly believed to support the implemented direct election system, but felt the need to consult with THC’s Founder, whether or not, our recommendation and stance still echoed Pak Habibie’s wish for democratized Indonesia.

Photo: Personal Collection

On July 25, 2013 in the spacious library of his home, we finally had a round-table discussion with him. After presenting our findings and recommendations, we asked whether our recommendations were in line with his view of the democratic system in Indonesia. To our relief, he asserted that he supported our recommendation that direct election system should be maintained and upheld. In his animated and enthusiastic way, he continued discussing—which was difficult to interrupt and/or stop—his vision of future Indonesia, touching two of his favorite subjects: democracy and technology. Sometimes, he related the discussion with stories on Ibu Ainun which made us feel the privilege to listen to all his thoughts and love stories first hand. He had always mentioned that we were all his intellectual children and grandchildren in several occasions when we had a chance to see him. During the meeting, he reiterated the same message to us after he provided his inputs. Returning to our office, we became more confident with our recommendations and glad we could translate his vision of democracy for better Indonesia.

As for the election system issue, on September 25, 2014, the lawmakers approved the change of the system through voting, allowing regional leaders (governors, regents, and mayors) to be elected by the members of local houses of representatives. Susilo Bambang Yudhoyono, the then president, issued the Government Regulation in Lieu of Acts (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang/Perpu) No. 1/2014 to counter such move and returned the election back to its direct election system. The Perpu was of course challenged by the opposing parties in the parliament. However, in its plenary session on January 19, 2015, members of the parliament approved the Perpu as the Law with revisions. Finally, on February 17, 2015, the parliament and the government approved the Law on the Election of Governors, Regents, and Mayors, which reestablished the direct-election-by-voters system and added the simultaneous implementation of local election throughout Indonesia.

Another time I had the privilege to meet him was when THC launched the Community Empowerment in Raising Inclusivity and Trust Through Technology Application (CERITA) Program. The CERITA team went to meet him in the same library at his house. When we informed him about the program, he was so enthusiastic and wanted to know more about it. As the name suggests, the training-of-trainer program was designed to provide opportunities for Indonesian youth to raise inclusivity and trust through story telling. In addition to that, the program also provided training for the participants to build skills in dialogue facilitation. Given the increasing mistrust between groups in Indonesia, we believed that the program could encourage young people to share stories that promote the message of peace and harmony.

Photo: Courtesy of Ima Abdulrahim

Having listened to our exposition of the program, Pak Habibie was so enthusiastic and supported it. We felt we received burst of energy from his responses. Being served traditional fried cassava and hot tea, we enjoyed our discussion with him as he shared his stories, dealing with past social, political, cultural issues nationally and internationally. Again, his stories were interspersed with the connections to Ibu Ainun, making them even more meaningful for us who were so fascinated by his unstoppable story telling ability. Again, I was so inspired by his willingness to listen to ideas from young people and provide supports to their implementation. Being his intellectual children, we just could not stop giving the best we could for better Indonesia. I’m not sure if we updated him on the development of the program and how extensive our network has grown since its launch in 2017. I’d believe he would have been happy to know that from 144 Duta Cerita (CERITA Ambassadors) that we trained in five cities, the number has grown to more than a thousand people in more than 13 cities thanks to the continuous training done by the Duta CERITA.  

Photo: Courtesy of Ima Abdulrahim

Despite meeting him several times, those two occasions left very deep impression to me. The passing of Pak Habibie made me relive the occasions and vividly played them in my mind. We at THC always believe that, together with the rest of Indonesians, as his intellectual children/grandchildren, we were tasked by Pak Habibie to always love Indonesia and work to our best to achieve Indonesia that he, and our founding fathers, had always dreamed of. While he has been remembered by his work and legacy, I cannot help remembering how he has always been my idol since I started to learn about him. At the very least, his level of intelligence will always become a point of reference when talking about a genius Indonesian. This is best immortalized in Iwan Fals’ song about a poor teacher named Oemar Bakrie who “made his students’ brain like Habibie’s.” Farewell Pak Habibie. We are all proud of being your intellectual children/grandchildren.

Dataran Tinggi Golan dan Para Pengikut Nabi Syu’aib

“Do you hear that?” tanya pemandu kami ke saya.

“Hear what?” tanya saya.

“THAT! Listen hard,” katanya lagi.

Siang itu saya berdiri di perbukitan di Dataran Tinggi Golan setelah paginya terbang dengan pesawat Cessna Hawk XP II dari Bandara Sde Dov di Tel Aviv ke Bandara Rosh Pina, bandara terdekat ke lokasi tujuan hari itu, yaitu perbatasan Israel dan Suriah. Dari bandara, dengan menumpang minivan, saya dan rombongan dibawa ke perbatasan Israel-Suriah, melewati kali kecil yang merupakan bagian dari Sungai Yordan. Di perbatasan tersebut masih terdapat pos aktif misi khusus Perserikatan bangsa-bangsa yang bernama United Nations Disengagement Observer Force (UNDOF). Sambil berjalan dan mendengarkan penjelasan pemandu, saya melihat rombongan kami diawasi oleh penjaga pos UNDOF berwajah Asia Selatan. Belakangan saya ketahui para anggota pasukan penjaga perdamaian PBB tersebut berasal dari India, Nepal, Fiji, Irlandia, dan Ghana. Di sekitar areal perbatasan saya lihat banyak tempat dengan plang peringatan bahaya ranjau, sisa-sisa dari pertempuran di masa lalu.

Di atas perbukitan dimana angin bertiup kencang dan suaranya bersiul nyaring di telinga, lamat-lamat saya dengar suara letupan beberapa kali, mirip bunyi meriam bambu atau meriam karbit yang biasa kami bunyikan saat bulan Ramadhan di masa lalu. Ketika saya katakan saya mendengar suara yang dia sebutkan, dia langsung mengatakan itu adalah tembakan artileri dari pihak-pihak yang bertikai di Suriah. Saya berpikir betapa absurd-nya pengalaman saya ini. Di seberang perbatasan dari tempat saya berdiri, ada pertempuran sengit sedang berkecamuk di sana.

Dari Dataran Tinggi Golan ke sisi Suriah, terdapat tanah datar sampai ke batas cakrawala. Saya menyadari saya berdiri di daerah yang sering menjadi topik utama acara Dunia Dalam Berita TVRI saat saya masih kecil. Suatu waktu ketika menonton TV adalah sebuah kemewahan dengan gambar yang tidak terlalu jelas karena banyak ”semutnya.” Di dekat saya berdiri terdapat relik pertempuran masa lalu, yaitu sebuah tank yang kemungkinan besar merupakan sisa-sisa pertempuran Lembah Air Mata (the Valley of Tears) tahun 1973. Dikelilingi rumput tinggi dan bunga-bunga liar, tank yang kekuningan dan sudah berkarat itu berdiri sendiri di puncak bukit kecil seolah memberikan kesaksian tentang konflik yang telah menelan banyak korban.

Selesai mengunjungi Dataran Tinggi Golan, kami mengunjungi daerah yang penghuninya adalah mayoritas orang-orang Druze. Mereka adalah satu kelompok bangsa Arab yang memiliki sistem kepercayaan sendiri dengan memasukkan aspek-aspek ajaran Hindu, filsafat Yunani, dan Islam. Agama ini berkembang sejaka abad ke 10 dan 11 dan Mesir. Agama Druze bersifat monoteistik dan mengakui banyak nabi seperti Musa, Yahya, Isa, dan Muhammad. Nabi yang paling mereka hormati adalah Nabi Syuaib (Jethro) sehingga setiap April mereka berbondong-bondong berziarah ke makam Nabi Syuaib di Kota Tiberias.

Ada empat desa di Dataran Tinggi Golan yang berada di bawah pendudukan Israel. Terdapat sekitar 23.000 orang Druze yang tinggal di keempat wilayah tersebut dan menganggap diri mereka sebagai orang Suriah. Sebagian besar dari mereka menolak mengambil kewarganegaraan Israel dan, gantinya, hanya memegang status sebagai warga permanen (permanent resident). Ketika bepergian ke luar negeri, mereka memakai dokumen perjalanan seperti Surat Perjalanan laksana Paspor (SPLP) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Israel dimana kolom kewarganegaraan di dokumen tersebut dikosongkan.

Sebagian kaum Druze yang tinggal di wilayah dan menjadi warga negara Israel bergabung dengan Pasukan Beladiri Israel (Israel Defense Forces) seperti anggota warga negara lain. Beberapa dari mereka menduduki posisi yang tinggi di bidang militer, politik, dan pelayanan publik. Salah satu di antaranya adalah Reda Mansour, seorang diplomat Israel dengan latar belakang Druze. Tidak hanya sebagai diplomat, Mansour juga merupakan seorang penyair dan sejarahwan. Sebagai diplomat mansour pernah menjabat sebagai Konsul Israel di San Francisco dan Konsul Jenderal Israel di Atlanta, dan Duta Besar Israel untuk Ekuador. Sekarang dia menjabat sebagai Duta Besar Israel untuk Brazil.

Desa tujuan kami adalah Majdal Shams yang berlokasi di kaki Gunung Hermon di sebelah utara Dataran Tinggi Golan. Dimana-mana berkibar bendera Druze, yang kadang-kadang berdampingan dengan bendera Israel. Melalui jalan desa yang sempit yang berkelok-kelok dengan bangunan rumah rapat di kedua sisi jalan, kami diantar ke sebuah restoran keluarga yang dimiliki oleh satu keluarga Druze. Ruangan restorannya didekorasi dengan bendera-bendera Druze dan bernuansa agak temaram. Di luar suhu lumayan panas. Tetapi ketika kami masuk ke dalam, suhu jauh lebih sejuk apalagi dengan beberapa penyejuk udara yang beroperasi di dinding.

Dengan keramahan kami dijamu dengan masakan khas setempat, yang mirip dengan makanan yang dapat ditemui di daerah Timur Tengah lain, seperti humus dan makanan lain berbahan daging ayam, sapi, dan kambing. Pengalaman kuliner ini sungguh luar biasa mengingat ada banyak hal dimiliki bersama oleh mereka yang tinggal di wilayah Timur Tengah.

Sorenya kami terbang kembali ke Tel Aviv. Kali ini saya dengan seksama mengamati daerah-daerah yang kami lewati. Di beberapa wilayah, saya lihat cembung-cembung berukuran luas untuk menampung air. Dari atas saya melihat upaya yang dilakukan untuk mengubah padang gurun menjadi ladang-ladang pertanian. Banyak wilayah gurun telah dihijaukan dan menjadi lahan pertanian yang produktif. Sambil melihat dengan takjub wilayah kehijauan tersebut saya membayangkan apakah teknologi yang sama dapat dipakai untuk mengubah lahan-lahan kritis di Kalimantan dan Papua yang mengalami desertifikasi akibat ekploitasi pertambangan dan deforestasi.

Pesawat Cessna Hawk XP II yang saya tumpangi mendarat dengan selamat di Bandara Sde Dov Tel Aviv. Saya kembali ke hotel dengan membawa banyak hal untuk dijadikan bahan renungan.

Sisi Lain Palestina

Hari itu kami mengunjungi Ramallah. Dari Yerusalem kami melewati jalan yang berdampingan dengan tembok pemisah dan beberapa check-point yang dijaga oleh tentara Israel. Setelah melewati perbatasan, hal pertama yang saya lihat adalah di beberapa kilometer pertama wilayah Palestina adalah tumpukan rongsokan kendaraan di kiri dan kanan jalan yang merupakan tempat dimana mobil-mobil tua dibuang atau diambil suku cadangnya yang masih bisa dipakai untuk dijual lagi .

Tumpukan Mobil-mobil Tak Terpakai

Kami singgah sebentar di sebuah café karena beberapa dari kami ingin membeli kopi sebelum melanjutkan perjalanan bertemu dengan tokoh dan Sekretaris Jenderal Partai Palestinian National Initiative (PNI), dr. Mustafa Barghouti (مصطفى البرغوثي‎). Seusai bertemu dan berdiskusi dengan dr. Barghouti, kami melanjutkan perjalanan ke kota Rawabi.

rawabi peta

(Habeeb, 2019)

Seusai melewati beberapa kilometer dari check-point terakhir, kami memasuki kota Rawabi, sekitar 10 kilometer di utara Ramallah. Setelah melewati beberapa bukit, tiba-tiba saya disuguhi pemandangan yang lumayan surealis untuk saya pribadi, mengingat citra kelam yang tertanam di pikiran tentang situasi Palestina selama ini. Terbentang di depan mata adalah kompleks bangunan dengan rancangan bergaya Romawi yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya.

Memasuki Kompleks Apartemen Rawabi

Rawabi adalah kota yang dibangun dari nol di daerah Tepi Barat yang diduduki Israel. Pembangunannya diprakarsai oleh seorang miliarder Palestina berkewarganegaraan Amerika Serikat, Bashar Masri. Pembangunan Rawabi sendiri telah menghabiskan dana sebesar 1,4 miliar dolar Amerika atau setara dengan 19,7 triliun rupiah, 2/3 di antaranya didukung dana dari Qatari Diar Real Estate Investment Company dari Qatar (Booth, 2017).

Sebenarnya pusat dari kota ini adalah sebuah kompleks apartemen luas dan megah yang sedang dibangun di lokasi perbukitan. Sesuai master plan-nya, kompleks ini akan memiliki 8.000 apartemen dengan populasi sekitar 40.000 orang. Dengan harga per apartemennya sekitar 95.000 dolar Amerika, kompleks apartemen ini menarget kelas menengah-atas Palestina. Kompleks ini sekarang dihuni oleh sekitar 3.000 orang. Dengan fasilitas untuk kota mandiri seperti pusat perbelanjaan, kafe, dan lain-lain, kompleks apartemen ini dijanjikan akan menyediakan kenyamanan bagi para penghuninya.

rawabi

(Booth, 2017)

Kami kemudian dibawa ke kantor pemasaran kompleks apartemen tersebut yang berada di puncak bukit. Di halamannya berkibar dengan megah beberapa bendera Palestina berukuran besar. Kami disambut oleh staf pemasaran apartemen dan diberi kesempatan menonton video pembangunan kompleks tersebut. Setelah mengobrol beberapa lama kami diantar mengelilingi kompleks apartemen megah itu. Semestinya kami dijadwalkan untuk bertemu dan berdiskusi dengan Bashar Masri siang itu, namun pemrakarsa Rawabi itu sedang ada keperluan lain sehingga kami ditemani oleh stafnya saja.

Halaman Kantor Pemasaran Apartemen Rawabi

Salah satu bangunan yang sangat mengesankan adalah amfiteaternya yang terbuka dan dapat menampung 15.000 orang. Di dinding paling atas amfiteater ini dihiasi dengan foto-foto berukuran besar dari para pesohor dunia, antara lain Elvis Presley, Michael Jackson, Freddy Mercury, dan Marilyn Monroe dengan pose ikoniknya dari film The Seven Year Itch. Tidak ketinggalan di dinding lain foto-foto para pesohor seni Timur Tengah yang tidak saya kenali, namun saya yakin foto Ummi Kultsum pasti ada di antara mereka. Duduk di amfiteater yang luas sambil melihat pemandangan spektakuler yang ada di sekitarnya, saya tercenung dan bertanya kepada diri sendiri apakah saya sedang berada di wilayah Palestina.

Duduk di tengah amfiteater di bawah foto Marilyn Monroe

Pembangunan kota dan kompleks apartemen di Rawabi sendiri tidak sepi dari kritik dan kecaman dari warga Palestina di Tepi Barat dan warga Israel yang tinggal di permukiman sekitar kota tersebut (Douchet & McMullen, 2015). Masih menjadi pertanyaan apakah mimpi Bashar Masri menjadikan Rawabi sebagai sebuah kota metropolis pertama di Palestina dapat tercapai di tengah ketidakpastian akibat konflik Israel dan Palestina. Akhirnya cuma kalimat yang sangat klise ini keluar: Hanya waktu yang bisa menjawabnya.

Referensi:

Booth, W. (2017, 25 Mei). The $1.4 billion bet on a new Palestinian future. Diakses dari https://www.washingtonpost.com/graphics/world/occupied/palestinian-metropolis-rawabi-rises-in-west-bank-as-israeli-occupation-turns-50/?noredirect=on&utm_term=.e733221d0ac7

Doucet, L. & McMullen, J. (2015, 7 Februari). The new Palestinian city that lacks only one thing. Diakses dari https://www.bbc.com/news/magazine-31154138

Habeeb, N. (2019). Rawabi: Just sustainabilities under occupation. Diakses dari http://sites.tufts.edu/rawabipalestine/map-and-geography/

Brengsel dan Sekeping Kenangan

Brengsel3Kami menyebutnya Brengsel, yang mungkin merupakan pengucapan penduduk lokal dari nama aslinya, yaitu N.V. Bruynzeel Dayak Houtbedrijven (Bruynzeel Dayak Wood Enterprises). Brengsel merupakan kilang penggergajian kayu di Kota Sampit dan pernah memegang rekor sebagai kilang terbesar di Asia Tenggara. Karena besarnya potensi keuntungannya, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1958 Tentang Penetapan Bagian IV A (Urusan Penyelenggaraan Keuangan Dan Perhitungan-Perhitungannya Mengenai Perusahaan-Perusahaan Dan Jawatan-Jawatan Pemerintah Yang Mempunyai Pengurus Sendiri) dari Anggaran Republik Indonesia Untuk Tahun Dinas 1955, terutama Bab II (Penerimaan) pada bagian 4A.5.2  tentang Keuntungan berhubung dengan penyertaan dalam modal secara spesifik menyebutkan bahwa Bruynzeel-Dayak-Hout-bedrijven menjadi satu dari 21 jawatan/perusahaan yang keuntungannya menyumbang kepada pemasukan Negara. Mengingat reputasinya, tidak heran salah seorang guru saya yang berasal dari Jawa bersedia ditempatkan di Sampit karena berpikir kota ini tidak terlalu terkebelakang karena memiliki industri berskala raksasa untuk zamannya.

Brengsel1

Menurut informasi di laman PT Eksploitasi dan Industri Hutan III (Persero), Brengsel didirikan pada  tahun 1947 bernama Bruynzeel Dayak Hout Bedrijven NV yang merupakan perusahaan terbatas yang bergerak di industri penggergajian kayu. Perusahaan ini di ambil alih oleh Pemerintah RI pada tahun 1955 dan diubah namanya menjadi PT. Sampit Dayak. Pada tahun 1962 perusahaan ini berubah menjadi Perusahaan Negara (PN) Perhutani Kalimantan Tengah. Kemudian status perusahaan ini berubah menjadi persero pada tahun 1974 berdasarkan Peraturan Pemerintah No.31 Tahun 1974. Perubahan demi perubahan dilakukan dari sisi legal atas perusahaan ini dengan akte pengesahan terakhir dilakukan pada tahun 2010 (http://bumn.go.id/data/uploads/epaper/Sektor2/files/assets/seo/page61.html).

Brengsel dekat rumah kami, persis bersebelahan dengan permukiman warga yang tinggal di sepanjang Jalan Jiwa dan Gang Lilik. Ada pagar seng tinggi dengan tiga baris kawat berduri sepanjang jalan umum yang membatasi area kilang dan perumahan penduduk. Lokasinya sangat strategis karena berada di dekat pertemuan antara Sei Pemuatan dan Sungai Mentaya. Di seberang Sei Pemuatan dari kilang ini terdapat permukiman padat penduduk yang dulu terhubung dengan jembatan kayu ikonik kalau ingin ke wilayah Baamang atau ke Bandar Udara Haji Asan. Dari jauh kami selalu bisa melihat cerobong asap pembakaran yang di bawahnya kami, para anak-anak, percayai bersemayam seekor naga besar yang menjadi penunggunya.

Brengsel2

Apabila anak-anak mencari tempat lain untuk bermain selain di sungai dan hutan, maka Brengsellah yang menjadi salah satu pilihan. Kilang ini sebenarnya adalah restricted area dimana orang luar harus mendapat izin untuk masuk. Namun, namanya juga anak-anak, kami dengan mudahnya melakukan trespassing  dan bermain-main di daerah kerja sambil main kucing-kucingan dengan para penjaga yang tidak segan-segan membentak dan mengejar-ngejar kami untuk keluar dari area kerja yang sebenarnya, kalau dipikir sekarang, adalah area berbahaya.

Ada banyak kesempatan bermain yang ditawarkan di Brengsel. Pertama, kami bisa bermain dengan lori kereta pengangkut kayu. Kadang-kadang satu lori dilepas di ujung rel sehingga dapat kami gunakan untuk bergantian menjadi penumpang dan pendorong lori sepanjang beberapa meter rel yang tersedia. Saat itu saya membayangkan bagaimana asyiknya naik kereta api seperti yang ada di buku-buku cerita dan cerita pengalaman tetangga yang pernah naik kereta di Pulau Jawa. Mengingat ini, sungguh kami sangat tertinggal saat itu dari aspek transportasi antarkota di Kalimantan.

Kesempatan bermain kedua adalah permainan perang-perangan. Limbah gabuk (serbuk gergaji) biasanya ditumpuk menggunung dan dibakar. Ketika “berperang” dengan kelompok lain, kami melempari gunungan gabuk terbakar tersebut dengan potongan kayu atau batu sehingga memberikan sensasi visual mirip ledakan yang ada di film-film perang yang sering diputar di dua bioskop terkenal di Sampit saat itu, yaitu Mentaya Theater dan Panorama Theater. Setelah saling “meledakkan” kubu lawan, kami biasanya melanjutkannya dengan adegan perkelahian a la film-film kungfu Hong Kong. Segala simulasi gerakan yang merepresentasikan teknik-teknik ginkang, iweekang, dan lain-lain dapat secara bebas dilakukan sambil berguling-guling di tumpukan gabuk yang empuk.

Kemudian, kesempatan bermain ketiga yang ditawarkan di Brengsel adalah area kilang minyak ini kadang-kadang menjadi tempat strategis untuk mengejar layangan putus. Biasanya mereka yang betegang (beradu layangan) bermainnya di Lapangan SD Kristen yang berdekatan dengan Brengsel. Layangan putus yang kalah dalam adu itu biasanya ditiup angin masuk ke areal kilang Brengsel. Tidak heran kalau anak-anak berlomba-lomba mengejar layangan putus tanpa perduli teriakan para penjaga dan pekerja yang terganggu akibat kegaduhan kami mengejar layangan tersebut.

Dengan pakaian kotor dan badan bau keringat, saat azan ashar terdengar kami biasanya berjalan beramai-ramai ke batang-batang di Sungai Mentaya dekat lokasi Brengsel. Batang yang merupakan dermaga kecil dari kayu gelondongan tempat tambat perahu menjadi tempat terakhir bermain sekaligus membersihkan diri setelah seharian bermain di Brengsel. Dengan riang kami berjalan pulang ke rumah masing-masing dengan memakai celana basah dan menyampirkan baju basah di bahu. Dengan saling bercanda, kami berbagi kebahagiaan yang sederhana setelah seharian bermain-main secara produktif.

Kebahagiaan lain yang ditawarkan Brengsel adalah bunyi sirenenya. Pada bulan Ramadan, sirene dari Brengsel merupakan hal yang paling ditunggu-tunggu warga sekitar karena merupakan penanda berbuka puasa bagi kaum Muslimin. Saya biasanya berlari dari rumah teman di samping Brengsel sambil meneriakkan informasi bahwa waktu berbuka sudah tiba seolah-olah orang lain tidak mendengar sirene nyaring yang terdengar seantero kota.

Malangnya, pengalaman masa kecil kami tidak lagi dapat dinikmati oleh generasi sesudahnya apalagi setelah industri kayu di Kota Sampit lumpuhcollapse. Kondisinya sekarang sangat memprihatinkan seperti yang terlihat di foto-foto yang ada, abandoned and ignored. Dari data yang tersedia, PT Inhutani III berencana untuk menjadi areal ini sebagai bagian dari kerja sama penggunaan lahan untuk pembangunan tempat usaha komersial, seperti hotel, pusat perbelanjaan, dan lain-lain sesuai dengan brosur yang ada di website mereka:

Kerjasama-Lahan-Sampit-2016

Apabila perubahan drastis ini terjadi, Kota Sampit akan kehilangan salah satu landmark bersejarahnya. Ingatan tentang Brengsel akan hilang seiring dengan berlalunya generasi yang tumbuh dan besar di sekitaran areal kilang ini. Keberadaannya hanya akan menjadi informasi masa lalu yang menjadi bagian muram dari Museum Kayu Sampit. Oleh karena itu, ada baiknya Pemerintah Daerah Kotawaringin Timur bekerja sama dengan PT Inhutani III untuk membenahi area ini, misalnya dengan menjadikan area Brengsel sebagai sebuah taman terbuka atau theme park yang dapat menjadi “museum hidup” bagi identitas Kota Sampit. Landmark kota ini akan berpotensi besar dalam mendekatkan generasi sekarang dengan sejarah dan identitas kotanya sebagai pelengkap Museum Kayu yang sudah ada di Sampit. Sudah saatnya kita menghargai warisan masa lalu dan melakukan upaya preservasi terhadap peninggalan bernilai sejarah. Kalau tidak, semua peninggalan bernilai sejarah tersebut hanya akan menjadi kenangan yang hilang dan catatan tanpa emosi di buku sejarah lokal.

Catatan: Foto-foto Brengsel diambil dari koleksi dan atas izin NanankSophian (https://www.facebook.com/nsophian).

That One-dollar Haircut

FullSizeRender-a.jpg

Well, it’s not really $1; it’s actually less. With today’s rate, it’s only $.76 without any obligation for customers to give tips. But, for the sake of getting a big grin on the barber’s face, tips will always be a nice surprise. On the walls of the barbershop you can see posters of various old “standard” hair styles. You just need to point at one of the pictures in the posters to choose which style to apply to your hair. It’s a simple haircut that takes only about 15 minutes to do. Don’t compare it, though, to Kanye West’s allegedly $500 daily trim, or President Clinton’s once $200 trim on Air Force One at LAX, or Senator John Edwards’ $400 haircut during his presidential campaign. I personally don’t know what kind of hairstyle they got with that amount of money, but hey, who am I to judge?

Anyways, “Nasional” is a barbershop on Jalan Hasanuddin HM in Banjarmasin, the capital of South Kalimantan Province, Indonesia. It’s located in an older building along the not-so-crowded rows of shops that used to be the prime location for business and trading. The barbershop has big windows to allow air to freely flow as it has no air condition system. I sometimes compare it to the barbershop in front of Ohio University’s Lasher Hall in Athens, OH or one on 4th St. in Marietta, OH where I used to go. However, this barbershop in Banjarmasin doesn’t provide men’s magazines. In fact, no reading materials are visible or available anywhere in the shop.

The barbershop belongs to Hajjah Ramlah or “Ibu Haji” (a common reference to a woman who has done pilgrimage to Mecca) as the barbers call her. She takes some percentage of the haircut fee the barbers receive. There are nine work stations available, but only five barbers work. There used to be 11 of them who worked there. The barbers are Madurese, an ethnic group from Madura, an island just off of Java Island. They speak the local Banjarese language fluently with a Madurese accent here and there. Most of them are in their 50s with their silver hair; one barber even shaves off his head.

This barbershop might not be as busy as it was 10-20 years ago during its heyday, but loyal customers still come. As a matter of fact, they have created a niche for those who feel more comfortable to have their hair cut by men due to religious or sociocultural reasons. Seeing the special wooden plank available on each chair, one can infer that their other customers are children, which costs even cheaper for a haircut: $.68. I thought younger people might not be the barbershop’s target market as they would see this barbershop as an old fashioned place. Getting a haircut here might not be good for their image maintenance, especially when their friends find out that their haircut is not done in air conditioned salons or other barbershops with younger haircut-trend-following barbers. Apparently, I was wrong. The last time I was there, one of the customers was a teenager who had his hair cut following the current trend of hair style among youth. I found that amusing since the style matched the barbershop’s poster of four choices of style (he picked No. 1) that has been there since 1980s. Talking about retro…

img_0929-aThe barbers at “Nasional” are perhaps the last of their kind in the barbershop that has struggled desperately to ride the wave of change. For sure, building makeover is desperately needed to fix the peeled paints and cracks on the walls and ceilings. Mr. M. Hanan, the 70-year-old barber with whom I always have my hair cut, told a story about how his fellow barbers passed away one by one without anyone younger to replace them. Once, however, a young barber replaced his deceased father. Alas, the younger barber also passed away not long after taking the job. The lack of interests from their families’ younger generation for this line of job has threatened their very survival. Perhaps due to their children’s better education and that the latter prefer to work as salarymen instead of taking over dads’ business. Listening to their concern, you might wonder if their story will have a happy ending…

So gentlemen, if you happen to travel in Indonesian Borneo, please stop by in Banjarmasin, the city of a thousand rivers—the Venice of Indonesia. After enjoying its amazing and famous traditional cuisines and visiting its tourist destinations—such as its hundred-year-old floating market, Conservation Island of long-nosed monkeys, and river cruises, perhaps you might need to have your hair trimmed and beard shaved. When you do, you can be more adventurous by going to “Nasional.” You can get less-than-a-dollar haircut, no tip necessary, accompanied by the same hospitality and courtesy you find in other more expensive barbershops.

Schadenfreude

Dalam episode kedua musim kedua serial TV Amerika Boston Legal, ada cerita tentang seorang wanita bernama Kelly Nolan (diperankan oleh Heather Locklear) yang didakwa meracuni suaminya agar namanya tidak dicoret sebagai ahli waris dalam surat wasiat. Wanita cantik dan seksi ini kemudian diketahui mengawini suaminya hanya karena hartanya saja alias seorang gold digger. Selama perkawinan dia memiliki selingkuhan dan sering memadu cinta dengan sepengetahuan orang rumah. Yang membuat keadaan lebih buruk setelah suaminya dinyatakan tewas adalah selama penyidikan wanita ini sama sekali tidak menunjukkan ekspresi emosi apapun sehingga berkesan dingin dan tidak peduli. Tidak mengherankan ketika keseluruhan fakta tersebut disiarkan oleh media massa, banyak pihak menganggap bahwa perempuan itu bersalah dan pantas dihukum atas dakwaan yang dituduhkan. Lebih jauh, banyak orang yang merasa senang atas status sang janda sebagai seorang pesakitan.

Dalam argument penutup sidangnya, Alan Shore, pengacara Nolan, mengatakan:

Shadenfreude. From the German words, Schaden and Freude, damage and joy. It means to take spiteful, malicious delight in the misfortune of others. We used to dismiss this as simply an ugly side of human nature, but it is much much more than that. Recently a Stanford professor actually captured Schadenfreude on a brain scan. It’s a physiological medical phenomenon. When we see others fall it sometimes causes a chemical to be released in the dorsal striatum of the brain which actually causes us to feel pleasure. If you watch the news or read the papers, which of course you don’t because the Judge said not to, but if you did, you would see the undeniable delicious joy of the media and the public over Kelly Nolan’s plight (http://www.boston-legal.org/script/bl02x2.pdf).

Shadenfreude /ˈʃɑːdənfɹɔɪdə/ adalah kata benda yang dipinjam dari bahasa Jerman yang berarti “perasaan gembira atas kesengsaraan atau kemalangan (yang dialami) orang lain” atau seperti orang-orang bilang, “rasain lu.” Waktu kami kecil, saya dan abang saya, Jati, sering melakukan hal ini terhadap satu sama lain. Saya atau Jati, kalau tidak dilihat oleh Ibunda atau Ayahanda, akan memberikan tanda jempol dan seringai senang kalau salah satu dari kami sedang kena marah. Jahat memang, tapi memberikan kepuasan tersendiri.

Dalam panggung realitas kekinian, akhir-akhir ini kita banyak disuguhi tontonan menarik atas drama yang dibuat oleh para selebritas, politikus, dan para pemimpin negeri ini, baik yang di daerah maupun pusat. Berbagai tingkah polah mereka sangat mengesalkan dan sering membuat kita gemas. Semakin memuakkan tontonan yang mereka suguhkan, semakin banyak yang berharap agar orang-orang tersebut mengalami kejatuhan. Harapannya adalah agar orang-orang ini mendapat “pelajaran/balasan” sehingga mereka tahu bagaimana rasanya berada dalam posisi tidak berdaya.

Drama-drama tersebut direpresentasikan oleh banyaknya kasus dan nama yang silih berganti memberikan kesempatan kepada banyak orang untuk merasa gembira atas kemalangan yang menimpa para pemimpin dan politisi yang tidak disukai yang ditangkap karena, misalnya, kasus kriminal atau etika.  Berapa banyak yang merasa senang atas kemalangan menimpa para pejabat seperti skandal korupsi beberapa petinggi salah satu partai yang dalam iklannya mengatakan “tidak” pada korupsi, atau skandal suap terkait izin impor daging sapi, atau skandal “Papa Minta Saham,” atau skandal-skandal suap pejabat pusat dan daerah saat tertangkap akibat operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK); belum lagi kasus-kasus yang menimpa selebritas tertentu akibat terkena berbagai kasus, dari penyalahgunaan narkoba sampai pelecehan seksual.

Rasa senang atas kemalangan orang-orang tersebut ini tidak jarang ditumpahkan di media sosial lewat postingan bernada negatif atau makian. Yang menarik adalah postingan negatif di sosial media tersebut dapat berbias gender. Temuan penelitian dalam tesis Fariez Setiawan, salah satu bimbingan saya, menunjukkan bahwa masyarakat cenderung lebih keras dalam menghakimi para perempuan pelaku kriminal dari pada laki-laki. Analisis Fariez atas tweets yang beredar dalam satu frame waktu berkenaan dengan Inong Malinda alias Melinda Dee (kasus pembobolan dana nasabah Citibank) dan Gayus Halomoan Partahanan Tambunan alias Gayus Tambunan (kasus korupsi dan suap mafia pajak) memperlihatkan bahwa tweets terhadap Melinda bernada jauh lebih keras dari pada terhadap Gayus. Padahal bila merujuk pada artikel Bodenhausen dan Wyer (1985), mestinya orang seperti Gayus dihakimi lebih keras karena kejahatannya diatribusikan kepada faktor-faktor stabil (dalam kasus ini, misalnya, berjenis kelamin pria, bekerja sebagai pejabat atau pegawai negeri, dan menyalahgunakan wewenang—seperti stereotipe kebanyakan para koruptor) bila dibandingkan dengan Melinda yang “hanya” seorang wanita karier yang bekerja di perusahaan swasta. Jadi, dunia memang kejam dan tidak adil, ladies. Apalagi kalau dilihat dari klaim Bodenhausen dan Wyer (1985) bahwa eksperimen mereka mendukung hipotesis bahwa orang-orang cenderung untuk membuat pertimbangan berdasarkan teori-teori atau pendapat pribadi dari pada data.

Postingan bernada negatif yang bisa jadi merupakan luapan schaudenfreude semakin banyak ditemukan di media sosial. Kadang-kadang berasa seperti cerita roman ketika para pembaca sangat senang atas kemalangan terburuk yang menimpa tokoh antagonis karena kita bersimpati dengan tokoh protagonisnya. Atau seperti noraknya saya waktu nonton film-film silat Mandarin di masa kecil, bertepuk tangan saat jagoannya muncul dan berharap penjahatnya dapat dihajar habis-habisan.  Ada rasa puas di sana ketika penjahatnya babak belur.

Anyway, Kelly Nolan, tokoh wanita dalam cerita di awal tulisan ini, #spoiler alert#, akhirnya dinyatakan tidak bersalah dari tuduhan. Mungkin para anggota juri tergerak oleh kalimat Shore yang menyatakan bahwa,

I have no doubt that you want Kelly Nolan to be punished. She married for money, she had an affair, she carried on naked in the pool with her boyfriend. She’s cold,  materialistic, unlikable, and it might bring you all pleasure to see her go to jail. But as for evidence to establish that she committed a murder beyond all reasonable doubt? It just isn’t there. The only possible route to a guilty verdict here is Schadenfreude (http://www.boston-legal.org/script/bl02x2.pdf).

Tapi kemudian seberapa jauh kita bisa dan boleh ber-schaudenfreude dalam kehidupan nyata? Apakah kita tidak boleh senang saat melihat Hakim Agung Artidjo Alkostar memperberat hukuman para koruptor?

So, schaudenfreude, anyone?

Cinta dalam Semangkuk Gangan Asam

Gangan asam dkkSalah satu makanan yang paling dicari ketika mengunjungi orang tua saya di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah adalah gangan asam, sayur asam khas Kalimantan. Sayur ini pada dasarnya adalah sup ikan dengan tambahan sayur-mayur tergantung selera dan ketersediaan bahan baku. Sayur ini biasanya berisi kepala atau potongan ikan berdaging tebal, seperti patin, toman, baung, gabus, atau—kalau beruntung—ikan langka seperti pipih (belida). Sayuran utama yang paling pas dimasukkan dalam gangan ini adalah potongan terong asam atau rimbang yang kalau sedang musim banyak dijual di pasar-pasar tradisional di Kalimantan Tengah dan Selatan. Yang lebih dahsyat lagi kalau sayurannya adalah rotan muda atau biasa disebut umbut latung. Rasa gurih, masam, dan kepahit-pahitan memberikan sensasi tersendiri bagi para penikmatnya. Untuk membuat gangan asam, masing-masing keluarga bisa jadi memiliki resep sendiri-sendiri. Namun bumbu yang wajib ada adalah kunyit untuk memberi warna kuning dan rasa pada kuahnya.

Apabila saya atau saudara-saudara lain akan berkunjung, beberapa hari sebelumnya Ibunda akan mencari bahan-bahan pokok untuk membuat sayur ini. Meskipun di Pangkalan Bun sudah ada pasar waralaba besar, tempat paling tepat untuk mencarinya dan membelinya adalah di pasar tradisional, pasar becek yang menyediakan banyak barang yang tidak tersedia di supermarket besar. Kalau tidak sempat menyiapkan bahan, maka kadang-kadang saya menemani Ibunda berbelanja. Jika ini terjadi, maka saya harus siap-siap mendengar tawaran Ibunda kepada para pedagang di pasar yang bisa saya kategorikan sebagai “sadis” karena biasanya sangat tega menawar harga.

Sepulang ke rumah, Ibunda biasanya sibuk memasak di dapur karena teman makan gangan asam ini bisa macam-macam, mulai dari pepes ikan, udang goreng, ikan kering goreng, sampai condiment wajibnya, yaitu sambal terasi. Dengan cepat harum masakan akan menyebar ke seluruh rumah. Waktu kecil saya biasanya ke dapur untuk menjadi nganyau karena saya akan mengambili kepala-kepala ikan goreng terutama ikan sepat, satu-satunya hal yang boleh diambil dan dimakan sebelum jam makan siang tiba.

Setelah seluruh aktivitas memasak selesai, makan siang dilakukan setelah sholat dzuhur. Saya akan dengan kalapnya makan masakan tersebut tanpa memperdulikan komitmen diet. Ibunda biasanya sambil tersenyum melihat anak-anaknya makan sementara beliau tidak terlihat ikut serta menikmati gangan asam tersebut malah lebih suka mengambil nasi dan ikan atau tempe goreng sebagai lauk. Saya tidak terlalu memperhatikan dan memedulikan hal itu sampai suatu ketika beberapa tahun lalu Ibunda membuka satu rahasia mengenai hal itu. Ceritanya, beliau senang sekali memasak gangan asam buat seluruh anggota keluarga tapi beliau sendiri tidak suka masakan tersebut! Jadi itu yang menjadi alasan kenapa ketika semua berpesta-pora makan gangan asam Ibunda justru makan lauk yang lain. Dan ini sudah berjalan berpuluh-puluh tahun semenjak Ibunda menikah dengan Ayahanda. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana seseorang selama beberapa dekade memasakkan sesuatu yang tidak disukainya hanya karena rasa sayang kepada suami dan anak-anaknya yang suka dengan masakan itu. Pantas saja rasanya sangat juara…

Jadi, anda boleh menyebut makanan apa saja dari mana saja, baik dalam maupun luar negeri sebagai the ultimate food. Bagi saya gangan asam berisi rimbang atau umbut latung masakan Ibundalah yang menjadi the ultimate food karena di dalam semangkuk sayurnya terdapat cerita sejarah panjang keluarga dan sesemesta cinta tak bersyarat.

Penguatan Kohesi Sosial dan Penanganan Potensi Konflik Komunal

(Tulisan 3 Maret 2016)

Beberapa minggu lalu di Kalimantan Selatan, terutama di Banjarmasin, warga lumayan tercekam oleh adanya kabar akan kemungkinan pecahnya bentrokan antaretnis yang dipicu oleh perbuatan kriminal yang dilakukan oleh beberapa orang dari kelompok etnis pendatang terhadap seseorang warga lokal. Informasi dan provokasi yang beredar simpang siur menyebabkan sentimen antaretnis yang sudah diminimalisir sejak konflik antaretnis di Kalimantan mendapat kekuatan baru untuk muncul kembali.

Isu konflik antaretnis masih merupakan api dalam sekam mengingat sejarah kekerasan antaretnis yang terjadi di Kalimantan. Pengalaman kerusuhan tahun 1997 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan yang masih sedikit banyak berbau etnis, konflik kekerasan antaretnis di Kalimantan Barat 1997-2001, Kalimantan Tengah 2001, dan Tarakan (Kalimantan Timur) 2010 masih menjadi rujukan dalam melihat dinamika komunikasi dan interaksi antaretnis di wilayah ini. Di samping itu, penyelesaian terhadap kejadian-kejadian tersebut dianggap masih belum tuntas sehingga residu konflik masih ada dan menggantung di kesadaran kolektif masyarakat. Penelitian terakhir yang dilakukan di salah satu wilayah yang mengalami konflik antaretnis menunjukkan adanya keengganan hampir seluruh lapisan masyarakat dan aparat pemerintahan serta keamanan untuk membicarakan hal tersebut karena mengganggap bahwa konflik tersebut merupakan masa lalu dan tidak perlu diungkit lagi. Hal ini menjadi problematik karena isu di masa lalu tersebut masih menyisakan beberapa masalah, seperti pengembalian pengungsi dan dan pemenuhan hak-hak perdata pengungsi yang propertinya diambil alih oleh pihak lain.

Problem yang muncul di kemudian dari keengganan untuk mendiskusikan isu ini adanya anggapan bahwa isu tersebut menjadi sangat sensitif dan harus dihindari untuk didiskusikan. Sikap ini akan menyulitkan saat elemen-elemen masyarakat berusaha secara terbuka mendiskusikannya dalam upaya memperkuat relasi antara kelompok masyarakat yang berbeda identitas, baik agama maupun etnisitas. Di sisi lain, kerapuham sosial masyarakat juga dapat menyumbang terhadap tingginya potensi kekerasan akibat residu konflik di masa lalu yang masih belum terselesaikan yang dapat meledak hanya karena dipicu oleh isu kriminalitas. Padahal keberhasilan kita untuk mencegah konflik kekerasan dan menjaga suasana damai hanya dapat dicapai apabila, pertama, akar permasalahan ditangani untuk mencegah konflik lama muncul kembali dan, kedua, kekerasan dan ketegangan berskala kecil dan “baru” tidak muncul atau bereskalasi.

Pemerintah sendiri dalam Rancangan Awal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 telah menyadari bahwa identitas Indonesia sebagai bangsa majemuk mulai tergerus karena menguatnya sikap sektarian dan intoleran. Akibatnya, kohesi sosial mulai melemah sehingga perbedaan lebih dikedepankan dari pada kesamaan sebagai anak bangsa sesuai prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Melemahnya kohesi sosial ini patut menjadi perhatian semua pihak karena ia adalah perekat yang mengikat masyarakat dengan mempromosikan harmoni, rasa kebersamaan, dan komitmen untuk mempromosikan kebaikan bersama (Colletta et al., 2001). Kohesi sosial mencakup aspek yang luas karena mengacu tidak hanya pada hubungan damai semata, tapi juga toleransi dan kepercayaan antara warga yang juga berhubungan dengan isu-isu keadilan, pendidikan, kesetaraan distribusi, dan tata pemerintahan yang baik.

Penguatan Kohesi Sosial

Ada banyak strategi yang dapat dipakai dalam upaya penguatan kohesi sosial. Empat strategi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut. Pertama, meningkatkan kesatuan dan toleransi melalui jalur keagamaan. Dari sisi kebijakan, pemerintah melalui RPJMN 2015-2019 sudah menggariskannya melalui pelaksanaan aktivitas keagamaan yang melibatkan komponen masyarakat lintas agama. Selain itu, masyarakat dan pemerintah daerah harus melakukan penguatan atas keberadaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di tingkat provinsi dan kabupaten/kota harus dilakukan dan secara bersama-sama membangun sekretariat bersama kerukunan umat beragama. Dalam hal ini, kerja-kerja yang sudah dilakukan oleh forum lintas agama di wilayah Kalimantan Selatan perlu diapresiasi.

Kedua, upaya untuk meningkatkan kesatuan dan toleransi, menurut RPJMN 2015-2019, juga dapat dilakukan melalui jalur pendidikan. Pemerintah menekankan bahwa penguatan kohesi sosial dapat dilakukan melalui pendidikan kewargaan agar kesadaran akan pluralitas bangsa ditumbuhkan. Pada akhirnya penguatan melalui jalur pendidikan ini diharapkan dapat menumbuhkan toleransi dan memperkuat solidaritas antaranggota masyarakat sehingga harmoni sosial dapat terbangun untuk mencapai kohesi sosial yang lebih baik. Bagi kita semua, tantangan terbesar dalam memaksimalkan jalur ini adalah bagaimana masyarakat dapat berpartisipasi secara aktif membantu para pendidik kita untuk memberikan dukungan dan contoh nyata tentang bagaimana kehidupan harmonis dibangun dan dijaga.

Ketiga, resolusi pertikaian lokal (local dispute resolution) perlu dikedepankan dalam penyelesaian konflik. Belajar dari kasus beberapa minggu lalu di Banjarmasin, langkah-langkah antisipasi dan penyelesaian oleh aparat keamanan dan pemerintah daerah yang berperan sebagai mediator bagi kedua kelompok yang bertikai patut mendapat apresiasi dari segenap lapisan masyarakat. Pengalaman di beberapa tempat lain juga menunjukkan bahwa penyelesaian pertikaian alternatif dapat mengurangi kemungkinan bereskalasinya sebuah konflik dan pada saat yang bersamaan membantu proses membangun rasa percaya sebagai modal penguatan kohesi sosial masyarakat.

Keempat, intervensi ekonomi yang berbasis kerakyatan dapat membantu menghilangkan sekat-sekat antarkelompok. Lembaga keuangan masyarakat seperti credit union (CU) di Kalimantan Barat dapat dijadikan contoh bagaimana lembaga-lembaga tersebut telah menjadi tempat berinteraksi dan membangun relasi antarwarga dari kelompok yang berbeda melewati batas-batas identitas yang sebelumnya kuat dipegang. Kesempatan untuk bersama-sama saling membantu dalam meningkatkan kesejahteraan kolektif merupakan langkah konkrit yang dapat direplikasi di daerah-daerah lain.

Kelima, kerja-kerja dari lembaga-lembaga nonpemerintah dan forum-forum kebangsaan perlu didukung. Upaya-upaya promosi perdamaian, penyediaan ruang sosial bagi warga dari berbagai kelompok identitas untuk berinteraksi, dan pembangunan kerja sama antar kelompok melalui kegiatan sosial dan budaya semakin penting untuk dikedepankan. Acara-acara dialog kebudayaan yang disponsori oleh lembaga swadaya masyarakat di wilayah Kalimantan Selatan perlu mendapat dukungan dan partisipasi dari kita semua untuk menghilangkan kesan elitis dan menjadikan forum tersebut sebagai sarana bagi kita semua untuk belajar memahami satu sama lain dalam membantu terbangunnya kelekatan sosial yang lebih kuat di wilayah ini.

Penutup

Apa yang terjadi di Banjarmasin beberapa minggu lalu merupakan satu contoh tentang bagaimana relasi antaretnis antara warga lokal dan pendatang masih sangat rapuh, terutama apabila provokasi berdasarkan sentimen etnis dibawa. Namun demikian, kita mendapat pelajaran penting tentang perlunya memperkuat kohesi sosial dalam mengantisipasi gejolak yang ada di masyarakat. Pendekatan keamanan sebaiknya tidak menjadi pilihan utama dalam menyikapi potensi konflik antaretnis dan antarkelompok di daerah. Hal ini perlu ditekankan karena melalui kohesi sosial yang kuatlah kita dapat secara bersama-sama mencegah terjadinya potensi konflik dan eskalasi kekerasan. Biar bagaimanapun juga, bukankan mencegah lebih baik dari pada mengobati?

Banjarmasin Hari itu…

“Nih,” kata pria setengah baya bertubuh besar dan bertampang sangar kepada saya sambil menyerahkan badik miliknya. Pria tersebut adalah Udin petugas jaga malam di RT kami. Jadilah selama beberapa malam saya menyelipkan badik tersebut di pinggang saya. Seumur-umur baru sekali itu berjalan membawa senjata tajam padahal belum tentu juga punya nyali untuk mengeluarkannya dari sarungnya.

Malam itu para pria dewasa yang tinggal di kompleks perumahan kami keluar dan berjaga-jaga dengan masing-masing memegang senjata tajam. Saat keluar rumah saya baru sadar bahwa di rumah sama sekali tidak ada senjata tajam, kecuali pisau dapur yang digunakan untuk kegiatan masak-memasak. Saya lalu menelpon Ayahanda yang ada di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, untuk segera mengirimkan mandau buat saya. Ayah saya berjanji akan mencarikan dan mengirimkan pesanan saya secepatnya. Sambil menunggu datangnya mandau, solusi sementara adalah meminjam badik milik penjaga malam tersebut.

Beberapa jam sebelumnya, siang pada hari kejadian, selesai sholat Jumat saya kembali ke tempat saya mengajar Bahasa Inggris di bilangan Jalan A. Yani yang berdekatan dengan RS Ulin. Beberapa siswa dan siswi sudah mulai berdatangan dan siap untuk masuk kelas. Tak berapa lama saya lihat ada ribut-ribut di luar dan adanya informasi tentang adanya kerusuhan di dekat tempat kami berada. Pintu kantor langsung ditutup separuh dan saya dan teman-teman lain naik ke atas atap gedung untuk melihat apa yang terjadi. Di jalanan sudah banyak orang mengayunkan senjata tajam sambil berteriak-teriak. Saya baru ingat bahwa hari itu adalah hari terakhir masa kampanye untuk Pemilu legislatif. Di Banjarmasin peserta Pemilu yang dapat giliran menutup masa kampanye tersebut adalah Golongan Karya, yang pada waktu itu bukan sebuah partai.

Mengingat kondisi yang tidak memungkinkan, kami memutuskan untuk menutup kantor dan menelpon orang tua dan keluarga siswa dan siswi untuk menjemput anak-anak mereka. Sebagian besar anak-anak telah dijemput kecuali satu orang siswi yang masih tertinggal. Saya kemudian menawarkan diri untuk mengantar anak tersebut ke rumahnya di Jalan Veteran yang menjadi bagian dari Pecinan di Banjarmasin. Selepas mengantarkannya saya mengendarai sepeda motor ke rumah di daerah Pemurus dan melihat semakin banyak kerumunan massa.

Sesampai di rumah saya dan beberapa tetangga yang juga pulang awal mulai berjaga-jaga di kompleks kami. Kabar berseliweran tentang pembakaran dan perusakan bangunan serta penjarahan toko-toko dan supermarket yang semakin meluas. Dari kejauhan saya melihat asap hitam membubung tinggi dari beberapa tempat yang mengindikasikan bahwa kabar pembakaran itu benar adanya.

Saat malam tiba, suasana semakin mencekam. Sebagian besar penghuni kompleks saya kebetulan adalah para pegawai negeri sipil yang pada saat itu merupakan pendukung Golkar. Mereka cemas karena khawatir akan menjadi target serangan dari orang-orang tak dikenal beratribut Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Untuk antisipasi, beberapa RT berinisiatif mengibarkan bendera PPP di jalan yang mengarah ke kompleks kami. Tetangga dekat saya juga keluar rumah dengan memakai kaos kampanye PPP. Keadaan semakin tidak kondusif karena adanya pemadaman listrik. Keadaan gelap gulita itu bertambah mencekam dengan kedatangan beberapa orang tak dikenal dengan sepeda motor dengan knalpot nyaring masuk ke kompleks dan melakukan pengecekan apakah kompleks itu mendukung PPP atau tidak. Melihat bendera besar yang terpasang mereka kemudian keluar lagi.

Dengan badik pinjaman yang terselip di pinggang, saya ikut bergabung dengan para tetangga dan berjaga. Malam itu kami mendengar hilir mudik kendaraan besar di jalan raya sampai dini hari. Salah seorang tetangga saya menyeletuk, “Jangan-jangan mereka membawa mayat para perusuh dan penjarah.” Kami semua hanya mampu berspekulasi dan mengira-ngira tentang apa yang terjadi di pusat kota dimana episentrum kerusuhan terjadi. Tetangga sebelah saya yang merupakan anggota polisi datang sebentar untuk mengecek keamanan lingkungan dan kemudian pergi lagi. Mulailah hari-hari dan malam-malam tanpa tidur sampai beberapa hari ke depan. Patroli keamanan dari kepolisian dan TNI menjadi pandangan sehari-hari di kompleks, terutama ketika malam tiba. Saat itu saya tidak membayangkan kejadian serupa dalam skala besar dan masif terjadi di Jakarta setahun kemudian dan akhirnya mengubah negeri ini. Dan juga kekerasan komunal lainnya….

Hari itu Jumat, 23 Mei 1997.

Badik yang saya pinjam akhirnya saya kembalikan di malam keempat tanpa pernah sekalipun dikeluarkan dari sarungnya. Dan mandau pesanan saya akhirnya dikirimkan Ayahanda beberapa bulan kemudian saat saya tidak memerlukannya lagi.

N.B. Sementara itu, beberapa media internasional mengabarkan kejadian tersebut, di antaranya:
The New York Times (26 Mei 1997 oleh Seth Mydans) dengan headline “In Indonesia, A Deadly End To a Campaign” (http://www.nytimes.com/…/in-indonesia-a-deadly-end-to-a-cam…).
Dan,
Independent (25 Mei 1997 oleh Richard Lloyd Parry) dengan headline “As Indonesia holds an election, a small town in Borneo burns” (http://www.independent.co.uk/…/as-indonesia-holds-an-electi…).