“Do you hear that?” tanya pemandu kami ke saya.
“Hear what?” tanya saya.
“THAT! Listen hard,” katanya lagi.
Siang itu saya berdiri di perbukitan di Dataran Tinggi Golan setelah paginya terbang dengan pesawat Cessna Hawk XP II dari Bandara Sde Dov di Tel Aviv ke Bandara Rosh Pina, bandara terdekat ke lokasi tujuan hari itu, yaitu perbatasan Israel dan Suriah. Dari bandara, dengan menumpang minivan, saya dan rombongan dibawa ke perbatasan Israel-Suriah, melewati kali kecil yang merupakan bagian dari Sungai Yordan. Di perbatasan tersebut masih terdapat pos aktif misi khusus Perserikatan bangsa-bangsa yang bernama United Nations Disengagement Observer Force (UNDOF). Sambil berjalan dan mendengarkan penjelasan pemandu, saya melihat rombongan kami diawasi oleh penjaga pos UNDOF berwajah Asia Selatan. Belakangan saya ketahui para anggota pasukan penjaga perdamaian PBB tersebut berasal dari India, Nepal, Fiji, Irlandia, dan Ghana. Di sekitar areal perbatasan saya lihat banyak tempat dengan plang peringatan bahaya ranjau, sisa-sisa dari pertempuran di masa lalu.
Di atas perbukitan dimana angin bertiup kencang dan suaranya bersiul nyaring di telinga, lamat-lamat saya dengar suara letupan beberapa kali, mirip bunyi meriam bambu atau meriam karbit yang biasa kami bunyikan saat bulan Ramadhan di masa lalu. Ketika saya katakan saya mendengar suara yang dia sebutkan, dia langsung mengatakan itu adalah tembakan artileri dari pihak-pihak yang bertikai di Suriah. Saya berpikir betapa absurd-nya pengalaman saya ini. Di seberang perbatasan dari tempat saya berdiri, ada pertempuran sengit sedang berkecamuk di sana.
Dari Dataran Tinggi Golan ke sisi Suriah, terdapat tanah datar sampai ke batas cakrawala. Saya menyadari saya berdiri di daerah yang sering menjadi topik utama acara Dunia Dalam Berita TVRI saat saya masih kecil. Suatu waktu ketika menonton TV adalah sebuah kemewahan dengan gambar yang tidak terlalu jelas karena banyak ”semutnya.” Di dekat saya berdiri terdapat relik pertempuran masa lalu, yaitu sebuah tank yang kemungkinan besar merupakan sisa-sisa pertempuran Lembah Air Mata (the Valley of Tears) tahun 1973. Dikelilingi rumput tinggi dan bunga-bunga liar, tank yang kekuningan dan sudah berkarat itu berdiri sendiri di puncak bukit kecil seolah memberikan kesaksian tentang konflik yang telah menelan banyak korban.
Selesai mengunjungi Dataran Tinggi Golan, kami mengunjungi daerah yang penghuninya adalah mayoritas orang-orang Druze. Mereka adalah satu kelompok bangsa Arab yang memiliki sistem kepercayaan sendiri dengan memasukkan aspek-aspek ajaran Hindu, filsafat Yunani, dan Islam. Agama ini berkembang sejaka abad ke 10 dan 11 dan Mesir. Agama Druze bersifat monoteistik dan mengakui banyak nabi seperti Musa, Yahya, Isa, dan Muhammad. Nabi yang paling mereka hormati adalah Nabi Syuaib (Jethro) sehingga setiap April mereka berbondong-bondong berziarah ke makam Nabi Syuaib di Kota Tiberias.
Ada empat desa di Dataran Tinggi Golan yang berada di bawah pendudukan Israel. Terdapat sekitar 23.000 orang Druze yang tinggal di keempat wilayah tersebut dan menganggap diri mereka sebagai orang Suriah. Sebagian besar dari mereka menolak mengambil kewarganegaraan Israel dan, gantinya, hanya memegang status sebagai warga permanen (permanent resident). Ketika bepergian ke luar negeri, mereka memakai dokumen perjalanan seperti Surat Perjalanan laksana Paspor (SPLP) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Israel dimana kolom kewarganegaraan di dokumen tersebut dikosongkan.
Sebagian kaum Druze yang tinggal di wilayah dan menjadi warga negara Israel bergabung dengan Pasukan Beladiri Israel (Israel Defense Forces) seperti anggota warga negara lain. Beberapa dari mereka menduduki posisi yang tinggi di bidang militer, politik, dan pelayanan publik. Salah satu di antaranya adalah Reda Mansour, seorang diplomat Israel dengan latar belakang Druze. Tidak hanya sebagai diplomat, Mansour juga merupakan seorang penyair dan sejarahwan. Sebagai diplomat mansour pernah menjabat sebagai Konsul Israel di San Francisco dan Konsul Jenderal Israel di Atlanta, dan Duta Besar Israel untuk Ekuador. Sekarang dia menjabat sebagai Duta Besar Israel untuk Brazil.
Desa tujuan kami adalah Majdal Shams yang berlokasi di kaki Gunung Hermon di sebelah utara Dataran Tinggi Golan. Dimana-mana berkibar bendera Druze, yang kadang-kadang berdampingan dengan bendera Israel. Melalui jalan desa yang sempit yang berkelok-kelok dengan bangunan rumah rapat di kedua sisi jalan, kami diantar ke sebuah restoran keluarga yang dimiliki oleh satu keluarga Druze. Ruangan restorannya didekorasi dengan bendera-bendera Druze dan bernuansa agak temaram. Di luar suhu lumayan panas. Tetapi ketika kami masuk ke dalam, suhu jauh lebih sejuk apalagi dengan beberapa penyejuk udara yang beroperasi di dinding.
Dengan keramahan kami dijamu dengan masakan khas setempat, yang mirip dengan makanan yang dapat ditemui di daerah Timur Tengah lain, seperti humus dan makanan lain berbahan daging ayam, sapi, dan kambing. Pengalaman kuliner ini sungguh luar biasa mengingat ada banyak hal dimiliki bersama oleh mereka yang tinggal di wilayah Timur Tengah.
Sorenya kami terbang kembali ke Tel Aviv. Kali ini saya dengan seksama mengamati daerah-daerah yang kami lewati. Di beberapa wilayah, saya lihat cembung-cembung berukuran luas untuk menampung air. Dari atas saya melihat upaya yang dilakukan untuk mengubah padang gurun menjadi ladang-ladang pertanian. Banyak wilayah gurun telah dihijaukan dan menjadi lahan pertanian yang produktif. Sambil melihat dengan takjub wilayah kehijauan tersebut saya membayangkan apakah teknologi yang sama dapat dipakai untuk mengubah lahan-lahan kritis di Kalimantan dan Papua yang mengalami desertifikasi akibat ekploitasi pertambangan dan deforestasi.
Pesawat Cessna Hawk XP II yang saya tumpangi mendarat dengan selamat di Bandara Sde Dov Tel Aviv. Saya kembali ke hotel dengan membawa banyak hal untuk dijadikan bahan renungan.